Oleh : Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc *)
(artikel dimuat oleh Republika tanggal 27 Oktober 2017)
Paling tidak, dua bulan ini, saya sudah beberapa kali mengisi kajian FinTech Syariah, sepertinya masyarakat sedang “jatuh cinta” dengan terobosan teknologi keuangan yang makin “intelligent” baru-baru ini. Untuk memberikan pencerahan bagi yang ingin tahu tentang FinTech syariah lebih jauh lagi, kali ini saya bahas geliat FinTech syariah dari enam sisi yaitu legalitas, akuntansi, audit, tata kelola, pengawasan syariah dan etika.
Peraturan FinTech di Indonesia
Tahun lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan regulasi FinTech yaitu Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Meskipun belum ada peraturan khusus untuk FinTech syariah, namun beberapa startup sudah mulai bermunculan. Kira-kira peraturan untuk FinTech syariah berbunyi seperti ini: “Layanan Jual Beli/Kemitraan/Pembiayaan/Sewa Menyewa Syariah” Berbasis Teknologi Informasi. Layanan penyelenggaraan layanan jasa keuangan syariah ini untuk mempertemukan penjual/mitra/pemilik modal/pemilik aset dengan pembeli/mitra/pekerja/penyewa dalam rangka melakukan jual beli/kemitraan/pembiayaan/sewa menyewa secara syariah dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan peraturan PBI 18/40/PBI/2016 tanggal 14 November 2016 tentang penyelanggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Hingga saat ini belum juga ada definisi secara syariah, namun peraturan ini kira–kira berbunyi: peraturan penyelanggaraan pemrosesan transaksi pembayaran yang mengikuti prinsip syariah.
Startup/instansi yang menawarkan jasa FinTech baik itu yang bergerak di “lending” maupun “sistem pembayaran” terlebih dahulu membuat badan hukum sebagai payung usahanya yang kemudian mendaftarkannya ke OJK atau BI. Badan hukum bisa berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Startup merupakan sebuah legal entity yang harus menyusun laporan keuangan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan. Startup juga harus memiliki tata kelola yang baik untuk menjamin keberlangsungan usahanya di masa depan. Audit juga merupakan keniscayaan bagi lembaga yang memiliki badan hukum dimana layanan transaksi berbasis elektronik rentan terhadap kecurangan dan penyimpangan dalam penggunaan data.
Akuntansi
Dewan Standar Akuntansi Syariah – Ikatan Akuntan Indonesia selalu merujuk ke fatwa Dewan Syariah Nasional –Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebelum mengeluarkan standar – standar akuntansi. Dari tahun 2000 hingga saat ini sudah dikeluarkan 109 fatwa keuangan syariah dan dengan kehadiran bisnis FinTech berbasis syariah, ada fatwa – fatwa baru yang akan bermunculan, misalnya fatwa e-Money. Seterusnya perlakuan dan ruang lingkup akuntansi perlu disesuaikan, namun hingga saat ini belum ada pembahasan terkait akuntansi untuk startup.
Skema FinTech syariah ada beberapa macam, yang cukup dikenal adalah yang memiliki platform Peer to Peer (P2P) dan crowdfunding. Perlakuan akuntansi untuk startup syariah tergantung kepada skema dan akad yang digunakan.
Berikut adalah contoh usulan perlakuan akuntansi untuk Mudharabah Fintech di tahap awal transaksi. Investor (Shahibul Maal) menyetujui dan memberikan investasi modal pembiayaan Mudharabah kepada Pengelola (Mudharib) melalui kampanye startup dengan perkiraan nisbah bagi hasil yang sudah ditampilkan. Akad antara investor dengan startup menggunakan wakalah bil ujroh. Pada saat Investor menyepakati pemberian modal maka dana ditransfer melalui rekening titipan/escrow/virtual account, dan investor mengakuinya sebagai Dana Investasi Mudharabah. Jurnal yang dicatat oleh investor adalah: Dana Investasi Mudharabah pada Kas dan dari sisi startup dana diakui sebagai titipan dengan jurnal Kas pada Dana Titipan. Begitu juga di sisi Mudharib, ketika menerima dana dari investor melalui startup, maka jurnalnya adalah Dana Syirkah Temporer pada sisi kredit.
Adapun salah satu usulan perlakuan akuntansi untuk Waqaf FinTech adalah sebagai berikut. Waqif (orang yang berwaqaf) menyetujui untuk menyalurkan dana waqaf kepada Nadzir melalui startup, maka akad antara Waqif dengan startup adalah wakalah bil ujroh. Ketika Waqif menyalurkan dana wakaf melalui rekening titipan/escrow/virtual account, Waqif mengakui adanya penyaluran dana waqaf. Di sisi startup mengakui sebagai Titipan Dana Waqaf sampai dana ditransfer ke Nadzir. Di sisi Nadzir, ketika menerima dana waqaf maka diakui sebagai Kas pada Penerimaan Dana Waqaf, yang mana Penerimaan Dana Waqaf dilaporkan pada laporan terpisah khusus Laporan Penerimaan dan Penyaluran Dana Waqaf.
Audit. Dalam hal audit, peranan audit elektronik (Electronic Data Process - EDP) akan makin penting ketika digitalisasi dalam proses bisnis makin dominan. OJK mewajibkan penyelenggaraan FinTech untuk menyediakan rekam jejak audit (audit trail) terhadap seluruh kegiatannya di dalam sistem elektronik berbasis teknologi informasi. Rekam jejak audit berguna untuk pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, pengujian dan pemeriksaan lainnya.
Tata kelola
Dari sisi tata kelola, startup harus memperhatikan hal ini. Selain wajib diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah, sebuah startup syariah wajib menyusun system tata kelola yang baik salah satunya mempunyai lima prinsip yaitu: Transparency, Accountability, Responsibility, Independence dan Fairness (disingkat TARIF).
Pertama, transparansi. Informasi yang disediakan oleh startup harus memenuhi karakteristik informasi yang baik yaitu akurat, relevan, memadai, real time, jelas dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Namun startup harus tetap memperhatikan kerahasiaan data yang bersifat pribadi, data transaksi dan data keuangan.
Kedua, akuntabilitas. Startup harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan adil kepada pemangku kepentingan. Bentuk pertanggungjawaban berupa laporan secara berkala kepada OJK atau BI dalam bentuk laporan keuangan dan laporan penyelenggaraan layanan berbasis elektronik.
Ketiga, responsibilitas. Startup juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi ketentuan bisnis syariah, juga bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat. Untuk mewujudkan tanggung jawab terhadap pemangku kepentingan, startup juga harus memiliki tim yang ahli di bidang teknologi informasi, akuntansi syariah, serta administrasi dan manajemen syariah.
Keempat, independen. Startup harus bebas dari kepentingan pihak tertentu sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara objektif. Benturan kepentingan juga dapat mengancam prinsip dasar etika bisnis syariah.
Kelima, kewajaran dan kesetaraan. Setiap individu yang berminat untuk bertransaksi dengan startup memiliki kesamaan dalam hak, perlakuan dan kesempatan. Startup harus bersifat tawazun(seimbang/adil) dalam memberikan layanan, tidak mengurang hak pemangku kepentingan.
Pengawasan Syariah
Bagi startup yang bergerak di bidang syariah harus mendapatkan izin usaha syariah dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia dan pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS). Ke depan, pengawasan dapat dilakukan dari jarak jauh karena semua aktifitas tersedia secara online.
Etika
Etika melalui sistem elektronik harus tetap ditaati yaitu diantaranya adalah jujur, adil, amanah, dan ihsan. Jujur karena startup harus mampu menjaga kerahasiaan data pemangku kepentingan. Adil diperlukan karena startup harus memperhatikan semua pemangku kepentingan, dan amanah karena startup harus mengedepankan tanggung jawab, tidak ada konflik kepentingan ketika menjalankan tugas. Terakhir, ihsan karena startup juga harus mengedepankan konsep berbagi bukan berlomba – lomba hanya untuk mencari keuntungan.
Terakhir, untuk memastikan tujuan startup syariah bukan hanya untuk komersial semata tetapi juga untuk tujuan sosial, maka dari itu, para startup harus menyisihkan sebagian keuntungan untuk kegiatan sosial. Bahkan sebaiknya startup syariah diwajibkan untuk membuat crowdfunding zakat, infaq, shadaqah, waqaf sebagai baktinya kepada lingkungan sekitar.
Diharapkan semakin banyaknya startup syariah dapat menjangkau masyarakat Indonesia lebih banyak lagi yang diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam praktik bisnis syariah, bersinergi membangun ekonomi Indonesia.
*) Dosen Senior Akuntansi Syariah STEI Tazkia/Ketua Tim Riset Kompartemen Akuntansi Syariah, Ikatan Akuntan Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Di Balik FinTech Syariah"
Posting Komentar